Jalaluddin Rumi
UNESCO,
sebuah badan PBB untuk pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan
menetapkan tahun 2007 menetapkan sebagai "Tahun Rumi", bertepatan dengan
peringatan 800 tahun kelahiran Jalaluddin Rumi, seorang tokoh sufi dan
penyair terkenal bukan hanya di dunia Islam.( http : //www.
Eramuslim.com, Kamis, 01/03/2007).
Rupanya,UNESCO mengapresiasi Rumi begitu besarnya.
Karena arah pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ke depan sangat
mendambakan sebuah peradapan yang beradab dan manusiawi. Peradaban yang
tidak hanya mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan ansich hanya bertumpu
pada nalar atau logika dan empirisme, tetapi lebih pada pada penguatan
peradaban berbasis spiritualitas. Tanpa dilandasi nilai-nilai dan
cita-cita ruhani yang mantap, kebudayaan suatu bangsa akan mudah rapuh,
dan akibatnya suatu bangsa akan mudah diombang-ambing oleh bangsa lain
yang lebih kuat.
Fritjof
Capra (1991:20) mengemukkan bahwa spiritualitas merupakan tindakan
sebagai hasil dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Spiritalitas membiarkan makna agama mengalir ke dalam kehidupan
sehari-hari, tulisan pemikiran, dan segala aktivitas apapun. Jadi dalam
memangun peradaban nilai-nilai ruhani harus selalu mengaliri dalam
setiap derap langkah dan karya serta piker suatu maysrakat bangsa kalau
ingin bangsanya menjadi kuat dan bermartabat.
Pemikiran
Jalaludin Rumi bersifat Iluminasionisme, yaitu sebagai suatu isme yang
memandang bahwa hanya hati dan kalbu serta pensucian jiwa adalah
satu-satunya sumber dan media bagi manusia untuk menggapai pengetahuan,
makrifat, dan ilmu hakiki terhadap objek-objek dan realitas-realitas
eksternal. (Ghulam Muhsin Ibrahimi;438).
Jalaluddin
Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai
pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan
sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan.
Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib
untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu
tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat
urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian
kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk
kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras
dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang
suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan
Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati
posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti
dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan
spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan
awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional
terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan
manifestasi-manifestasi-Nya.(Jalaluddin Hamayi:494).
Rumi
merupakan tokoh sastra dan spiritual yang dikenang sepanjang masa
melalui buah karyanya. Meski dunia telah mengalami perkembangan dan
perubahan, era yang silih berganti, pemikiran rumi tetap aktual dan dan
rindukan di segala jaman, karena tema-tema tulisannya banyak berhubungan
dengan masalah-masalah universal, cinta, keadilan, kemanusiaan dan
perdamaian
Rumi
banyak menulis puisi-puisinya ketika masih tinggal di Persia. Buah pikir
Rumi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di sekitar ia menetap,
tatapi dibaca banyak orang se antero jagad sampai ke Iran, Afghanistan,
Tajikistan dan diterjemahkan sampai ke negara Turki, Azerbaijan, AS dan
Asia Tenggara.
Rumi
pertama kali mengenal sufisme dari Shamsuddin dari Tabriz, seorang
Muslim yang sengaja hidup miskin dan mengembara ke mana-mana. Ia sangat
mencintai gurunya itu. Rasa kehilangan yang dalam saat Shamsuddin wafat,
dituangkan Rumi dalam musik dan lirik-lirik puisinya yang bertajuk
"Divani Shamsi Tabrizi."
Puisi-puisi
Rumi menunjukkan rasa cintanya pada Allah dan tokoh ini telah memberi
pengaruh besar pada sastra, pemikiran dan ekspresi keindahan di dunia
Islam. Selama berabad-abad, karya-karya Jalaluddin Rumi memberikan
pengaruh yang signifikan pada karya sastra berbahasa Persia, Urdu dan
Turki, Maka tidaj heran bila bangsa-bangsa tersebut menjadi bangsa yang
memiliki peradapan yang cukup membanggakan.
Rumi
telah menanamkan kecintaan pada Allah, Nabi Muhammad saw, sikap
toleransi dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Dunia yang dibangunnya
menjadi jantung, dunia di mana matahari, bulan dan bintang beredar
sesuai hukum, perintah, harmoni dan kedamaian. Disinilah letak kelebihan
Rumi dibandingkan dengan pemikir-pemikir yang lain. Rumi dianggap
sebagai monumen pemikiran dan seorang tokoh jenius yang luar biasa. (
http : //www. Eramuslim, Kamis, 01/03/2007). Figur Rumi oleh Unesco
dijadikan model pengembangan peradaban dunia pada masa mendatang.
SEJARAH SOSIAL JALALUDDIN RUMI
Syaikh
Nazim Adil Alhaqooni (1998) menuturkan, Fariduddin Attar, salah seorang
ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5
tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh
spiritual besar. Attar terkagum-kagum saat melihat seorang bocah berusia
delapan tahun yang tengah berjalan di belakang sang ayah. Tiba-tiba,
dari mulut Attar terucap sebuah kalimat, ‘’Tengah datang ke sini sebuah
lautan (sang ayah) yang di belakanganya diikuti sebuah samudra (si
bocah).’‘ Sang penyair besar itu pun meramalkan kelak si bocah akan
menjadi tokoh spiritual yang besar. Sang penyair besar itu pun lalu
menghadiahkan sebuah kitab yang ditulisnya bertajuk Asrarnama kepada
anak kecil itu. Berbilang tahun, ramalan Attar itu akhirnya menjelma
menjadi sebuah kenyataan. Ketika menginjak usia dewasa, bocah cilik itu
benar- benar menjadi salah satu tokoh spiritual dan penyair sufi
terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Sang penyair sufi legendaris
asal Persia itu bernama Jalaluddin Ar Rumi. Sejarah kemudian mencatat,
ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Nama
lengkapnya adalah Syekh Mawlana Muhammad bin Muhammad bin Husain al
Khatabi Al Bakri yang kemudian dikenal dengan nama Jalaluddin Ar Rumi
(Asrifin,tt:223). Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum
(Roma). Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H, atau tanggal
30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ayahnya masih
keturunan dari Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal
dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi adalah seorang cendekia yang
sholeh, mistikus yang berpandangan ke depan, dan merupakan seorang guru
yang terkenal di Balkh. (http://www.shalimow.com) Dan karena kharisma
dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama
(raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian
ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus
meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya.
Pada
tahun 1219, ketika Jalaluddin Rumi berusia 12 tahun, ayahnya, Bahauddin
Walad, secara tiba-tiba bersama keluarganya meninggalkan Balkh dan
melakukan perjalanan menuju barat. Alasan yang dinyatakan orang (secara
positif tetapi tanpa bukti) mengenai kepindahan ini, sebagai akibat dari
inspirasi Ilahi maupun intrik manusiawi, tentu saja fiktif. Tidak dapat
diragukan lagi bahwa Bahauddin, seperti ribuan orang lainny, melarikan
diri sebelum datangnya gerombolan Mongol yang sangat mengerikan , yang
tengah membumi hanguskan Khurasan dan sudah mendekati kota asalnya.
Berita tentang penjarahan ini sampai di tempat-tempat yang asing dalam
perjalanan mereka menuju Baghdad atau tempat lain di Baghdad ke Mekkah,
saat mereka menuju ke Damaskus dan akhirnya menetap di Rum (Turki).
(http: mistikrumi. blogspot.com)
Pada
tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin
Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh tanpa alasan yang jelas.
Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khwarizmi ketika
itu, Muhammad Khwarizmi-syah, menentang keberadaan Tariqat Kubrawiyah
yang dipimpin oleh Bahauddin Walad. Pendapat lain yang tidak sedap ialah
karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara Mongol yang
ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi. Tetapi
pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan Jengis
Khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan bagan-bagian
utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah.
(www.facebook.com/not.php?note_id)
Bahauddin
Walad mula-mula membawa keluarga menuju Khurasan dan Nisyapur di Iran
Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh tahun. Sepuluh tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi yang tengah dilanda
krisis internal, sekonyong-konyong diserbu oleh Jengis Khan sebagai
pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang Mongol yang dikirim ke
Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu keluarga Rumi telah
meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama keluarga Rumi melakukan
perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju Damaskus. Pada
akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal terakhir yang
menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di Kunya, Anatolia.
Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini termasuk wilayah
kemaharajaan Rumawi Timur atau Byzantium. Pada akhir abad ke-11 M Kunya
direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di Anatolia hingga abad ke-13 M.
Keterangan
lain menyebutkan, mobilitas ini buntut perbedaan pendapat antara Sultan
dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di
situ Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama
di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah,
atas permintaan Sultan Saljuk Alauddin Kaykobad.
Rumah
mereka yang pertama adalah Zarandah, kira-kira 40 mil sebelah tenggara
Konya, dan di situ Jalaluddin Rumi menikah. Pada tahun 1226 lahirlah
anaknya yang tertua, Sultan Walad. Kemudian Bahauddin beserta
keluarganya pindah ke Konya yang merupakan ibokota kerajaan Bani Saljuk
Barat.
Dikisahkan bahwa dia telah menjadi
seorang teolog yang terkenal, seorang guru dan khatib besar yang
dimulikan oleh para muridnya dan sangat dihormati oleh pihak kerajaan
karena bertindak sebagai penuntun spiritualnya. Sekitar waktu inilah
Burhanuddin Muhaqqiq at Tirmizi seorang petani murid Burhanuddin ketika
masih tingal di Balkh tiba di Konya. Di bawah pengaruhnya dikatakan
bahwa, Jalaluddin yang sekarang berusia 25 tahun menjadi sangat
bergairah kepada disiplin dan ajaran-ajaran para Sufi (orang-orang
lelaki atau perempuan yang berusaha menyatukan diri mereka dengan
Tuhan). Selama 10 tahun berikutnya ia mencurahkan diri untuk meniru
Pir-nya dan mengalami seleruh maqam kehidupan Tasawuf, sehingga karena
Burhanuddin wafat pada tahun 1420, maka dia memangku jabatan Syeikh,
sehingga dengan demikian mulailah, sekalipun tidak di rencanakan
terlebih dahulu langkah untuk menciptakan persaudaraan antar murid.
Pribadi Rumi memang sangat menarik dan jumlah muridnya terus bertambah.
Jalaluddin
pun menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya,
suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang
ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah
tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun
menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf selama 8 tahun . Tahun
1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng
diri sendiri.
Tahun 1244, saat berusia 37
tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Gelar
Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja
Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal,
menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu,
Rumi langsung pingsan!
Sebuah riwayat
mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung,
Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti
seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata,
‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan
mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak
lagi terpisahkan dari Syams.
Dan di bawah
pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,
tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari
bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat
bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju
Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama.
Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali,
warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia
gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi,
seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan
puisi-puisi mistis. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin,
yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai
Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi.
Guna
mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau
bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat Syams Tabriz. Dan selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau
berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang
diberi nama Masnavi. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf
yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda,
anekdot, dan lain-lain.
Ketika usianya
menginjak 48 tahun, Rumi mulai memilih hidup sebagai seorang sufi. Rumi
benarbenar mulai berubah. Ia sangat menghormati guru tasawufnya itu.
Perlahan-lahan, Rumi mulai meninggalkan tugasnya sebagai seorang guru.
Selain memilih hidup sebagai sufi, ia pun mulai menggubah puisi. Sebagai
kenangan atas jasa sang guru yang mengenalkannya dengan kehidupan
sufistik, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz.
(Republika On Line Rabu, 18 Maret 2009)
Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah
1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan
ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama
sahabatnya Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah.
Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut
thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang
dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. Tarian ini
disebut “SAMA”. Sampai meninggalnya, Rumi tak pernah berhenti menari,
kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang
membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai
jadi yang dicintai. (http://id.shvoong.com)
Pada tanggal 5 Jumadil
Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,penduduk setempat
berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau
dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari
wafatnya beliau.
Dunia berduka ketika
Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam
universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. Pada
tahun 2007, UNESCO memperingati 800 tahun kelahiran Rumi. Tepat pada 30
September 2007, sekolah sekolah di Iran membunyikan bel untuk
menghormati sang ulama dan penyair sufi besar itu. (Republika.co.id).
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI
Untuk
menyelami pikiran cerdas seorang maka tidak bisa tidak harus membaca
karyanya dan juga terjemahan dan ulasan tentang karya-karyanya, akan
tetapi untuk yang terakhir ini rasanya sulit, sebab menghitung
karya-karya komentar terhadap karya Jalaluddin Rumi hingga akhir
hanyatnya suatu hal yang rumit (Annemarie Schimmel:2001:5). Karya utama
Jalaluddin Rumi, yang secara umum dianggap sebagai salah satu buku luar
biasa di dunia, adalah Matsnawi-i-Ma'anawi (Couplets of Inner Meaning).
Selain itu, ada sejumlah karya yang dibukukan seperti Percakapan
informalnya (Fihi ma Fihi), surat-surat (Maktubat), Diwan dan hagiografi
Manaqib al-Arifin.
(http://sudhew.wordpress.com.menyelami-karya-jalaluddin-rumi/28/12/2010)
Abdul
Hadi WM menyebutkan, sebagai penyair atau sastrawan Rumi melahirkan
karya yang tidak sedikit. A. J. Arberry sebelum menulis bukunya
Classical Persian Literature (1958) telah meneliti karya-karya Rumi
dalam banyak naskah di berbagai tempat. Dia mendapatkan bahwa Rumi telah
menulis tidak kurang dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal
(sajak-sajak cinta mistikal), ruba’i (sajak-sajak empat baris dengan
pola rima teratur AABA yang sangat populer dalam sastra Persia) dan
matsnawi, karangan bersajak seperti prosa berirama dalam sastra Melayu.
Kecuali dia juga menulis karangan prosa termasuk rasa`il (wacana
ilmiah) dan khitabah (khotbah). Karangan puisi dan prosa dikumpukan
beberapa bunga rampai seperti berikut:
1.
Divan-Syamsi-i-Tabriz. Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti
qasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan ang dipuji
ialah sifat, kepribadian, akhlaq dan ilmu pengetahuan yang dimiliki
seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini Rumi mulai mengungkapkan
pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diaihnya di
jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari 36.000 bait puisi yang indah,
sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.
2.
Matsnawi-i-Ma`nawi. Artinya karangan bersajak tentang makna-makna atau
rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar,
tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi enam jilid. Kitab ini juga
disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila Divan-i-Syamsi Tabriz
diilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz, Matsnawi ditulis untuk
memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid dan sekaligus
sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar Rumi bersedia
memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk karya sastra
seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sana’i dan Mantiq al-Tayr karya
Fariduddin al-`Attar.
3. Ruba`iyat.
Walaupun tidak terkenal seperti Divan dan Matsnawi, namun sajak-sajak
dalam antologi ini tidak kurang indah dan agungnya dari sajak Rumi yang
lain. Bunga rampai ini terdiri dari 3.318 bait puisi. Melalui kitabnya
ini Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang
agung bukan saja dalam sejarah sastra Persia, namun juga dalam sejarah
sastra dunia.
4. Fihi Ma Fihi (Di Dalam
Ada Seperti Yang Di Dalam). Kumpulan percakapan umi dengan
sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Buku inii membicarakan terutama
sekali persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah sosial dan keagamaan
yang ditanyakan oleh murid-muridnya. Ia sekaligus merupakan bukti bahwa
seorang sufi seperti Rumi juga giat membicarakan persoalan sosial dan
keagamaan yang hangat pada zamannya.
5. Makatib. Kumpulan
surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya Syalahuddin
Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi
mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di
dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya
berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.
6.
Majalis-i-Sab`ah. Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan
majlis-majlis keagamaan. (www.facebook.com/not.php?note_id)
Jalaluddin
Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang zaman, yang telah membaktikan
lebih dari separuh hidupnya untuk mencari kebenaran-kebenaran terdalam
dari ajaran agama, kekuatan dari kebenaran tersebut sebagai pendorong
dan pembimbing umat manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradaban
besar yang langgeng. Pencarian yang panjang itu telah membawa sang sufi
ke dalam penjelajahan dan pengembaraan ruhani yang berliku-liku dan
penuh rintangan, namun buahnya adalah pengalaman dan kebahagiaan
ruhaniah yang lezat dan tidak ternilai harganya. Semua itu memperkuat
keyakinan sang sufi bahwa, seperti dikatakan al-Qur’an (50:6), “Tuhan
lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri” dan “Dia
selalu bersamamu (“wa huwa ma`akum ayna-ma kuntum QS 57:4) ). Lagi, “Ke
mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah” (QS 2:115).
(www.facebook.com/not.php?note_id). Rumi juga pernah berujar, semua
realitas ini merupakan bagian dari reaitas yang lain, Apapun yang ada di
dunia ini berasal dari sana. (Jaluddin Rumi Terj. A.J.
Arberry:2002:83).
Kandungan ayat suci
tersebut, menurut Rumi tidak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan
pantheistik, sebab yang dimaksud sebagai wajah Allah ialah ‘wajah
rohani’ atau ‘rupa batin’ Tuhan yang hanya dapat disaksikan dalam
pikiran dan perenungan yang dalam, yaitu sifat Pengasih dan
Penyayang-Nya (al-rahman dan al-rahim), yang terdapat kalimah Basmallah
dan ayat kedua Surat al-Fatihah. Para sufi menyebut sifat-sifat ilahiyah
ini baik sebagai mahabbah maupun `isyq. Keduanya sama-sama berarti
cinta, namun `isyq adalah cinta yang berlipat ganda dan sangat kuat
hingga menimbulkan dorongan kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai
bukti kecintaannya yang mendalam. Inilah tema penting dan pokok karya
para pengarang sufi dalam bahasa apa pun dia menulis, Arab, Persia,
Turki, Urdu, Shindi atau pun Melayu.
Al-Rahman
adalah cinta Allah yang dilimpahkan bagi segenap makhluk-Nya tanpa
pilih bulu, sedangkan al-rahim adalah cinta yang diberuntukkan bagi
orang yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Dari kata-kata
al-rahim inilah kata-kata rahim dalam bahasa Melayu/Indonesia berasal.
Cinta Tuhan kepada orang mukmin yang taqwa dan beramal saleh merupakan
cinta yang istimewa dan wajib diberikan sebagaimana cinta seorang ibu
kepada anak kandungnya. Cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud
batinnya itu dipandang oleh para sufi sebagai asas kejadian atau
penciptaan alam semesta, sebab tanpa al-rahman dan al-rahim-Nya tidak
mungkin alam dunia yang begitu menakjubkan dan penuh kenikmatan ini
dicipta oleh Yang Maha Kuasa yang sekaligus Maha Pengasih dan
Penyayang. Selain itu cinta juga merupakan asas bagi perkembangan dan
pertumbuhan, serta perluasan dan pertahanan dari keberadaan
makhluq-makhluq – terutama manusia. (www.facebook.com/not.php?note_id)
Ahli-ahli
tasawuf juga percaya bahwa cinta merupakan asas dan dasar terpenting
dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam,
ketaqwaan dan keimanan seseorang akan rapuh. Hilangnya cinta dalam
segala bentuknya dalam diri sebuah umat akan membuat peradaban dan
kebudayaan dari umat tersebut akan rapuh dan mudah runtuh.
Di
lain hal dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta melengkapi jalan
ilmu atau pengetahuan. Peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan
berkembang subur apabila hanya didasarkan pada ilmu beserta metodologi
dan tehnologi yang dihasilkan dari ilmu. Cinta menyempurnakan jalan
ilmu, sebab cinta merupakan dorongan terpendam dalam diri manusia untuk
selalu mencari yang sempurna dalam hidupnya. Dorongan menimbulkan
kehendak, hasrat dan kerinduan mendalam, dan dengan demikian cinta
menggerakkan manusia berikhtiar sekuat tenaga dengan segala kemampuan
yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang dilengkapi jalan cinta juga
membuat seseorang mampu mencapai makrifat (ma`rifa) atau kebenaran
tertinggi yang merupakan rahasia terdalam dari ajaran agama.
Ibn
`Arabi menuturkan tentang jalan ilmu dan jalan cinta sebagai berikut,
“Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang
dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta serta teori
belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai
konsep-konsep intelektual melampaui batasnya, maka ia disebut
intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang
keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di
mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun orang yang
memiliki ilmu ini tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya
sendiri. Inilah yang disebut emosionalisme. Yang ketiga ialah
pengetahuan nya yang disebut Pengetahuan tentang Hakikat. Pengetahuan
ini membuat manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar,
mengatasi bayasan-batasan pikiran biasa dan pengalaman empiris. Para
sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan
pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua.
Yang lain memadukan keduanya, atau memakai salah satu dari keduanya
secara berganti-ganti. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran
ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakikat
yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ni. Itulah sufi sejati,
darwish yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.”
Cinta
juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan merubah keadaan
jiwa manusia yang negatif menjadi positif. Itulah antara lain yang
diajarkan Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M, ketika
umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling buruk
dalam sejarah klasiknya. Di sebelah barat Perang Salib yang telah
berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus
mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Di sebelah timur bangsa Mongol
di bawah pimpinan Jengis Khan dan anak-cucunya menyapu bersih dan
memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan
besar-besaran Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada
tahun 1256 M. Kota Baghdad luluh lantak menjadi puing-puing dan ratusan
ribu penduduknya dibantai sehingga bekas ibukota kekhalifatan Abbasiyah
dan pusat utama peradaban Islam ketika itu berubah menjadi kota mati
untuk belasan tahun lamanya. (www.facebook.com/not.php?note_id)
Rumi
– sebagaimana telah dikemukakan -- berpendapat bahwa untuk memahami
kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya
melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta
adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah
keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi
malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis,
cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin,
keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan
dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi,
dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu
hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal
kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi
berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam
menstransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu.
Sebagai
ekspresi dari cinta Jalaluddin Rumi juga berkreasi dalam bentuk tarian,
salah satu maha karya Rumi adalah SUFI MEHFIL, sebuah tarian yang
dipopulerkannya bersama komunitasnya Mevlevi Order. Sufi Mehfil
merupakan sebuah tarian dalam tradisi sufi yang bermakna sebagai Pesta
Para Sufi, yang dikenal dengan tarian ‘SAMA’. yaitu bentuk tari yang
gerakan tariannya “The Whirling Dance” (memutar tubuh berlawanan dengan
arah jarum jam) dilakukan secara bersama oleh sejumlah orang penari
dibawah bimbingan seorang Murshid. Gerakan yang ada dalam tarian itu
menunjukkan kesediaan para Pecinta Tuhan untuk masuk ke dalam diri,
menghilangkan ego untuk kembali kepada kesejatian diri, dan merasakan
kenikmatan yang tak mampu untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Pesta
para sufi ini lahir manakala seorang Pencari Tuhan bertemu dengan Sang
Kekasih Yang Maha Suci, ketika merasakan kasih yang ada dalam hati dan
dalam diri meletup-letup, maka perasaan ini akan ditransfer menjadi
energi gerak dalam bentuk menari. Tarian yang dilakukan adalah sebuah
ekspresi untuk merayakan kehidupan. Konon, ketika menari seperti itu,
para penari mengalami ekstase yang di kalangan para sufi dipahami
sebagai tingkat pencapaian perasaan penyatuan dengan Tuhan. Bahkan, ada
pula yang mengaku gerakan yang tercipta ‘’seolah-olah” bukan dari diri
si penari. Dari kasih inilah yang membuat seorang pencari seperti Rumi
memiliki jiwa sangat lembut, dirinya tidak lagi bisa membenci atau
melihat perbedaan suku, ras maupun agama.
(www.shalimow.com/islam/sufi-mehfil-jalaludin-rumi.html).
Jalaluddin
Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai
pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan
sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan.
Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib
untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu
tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat
urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian
kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk
kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras
dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang
suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan
Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati
posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti
dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan
spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan
awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional
terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya.
KOMENTAR TERHADAP PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI
Abdul hadi WM menuturkan, bahwa karya religius dan profetik Matsnawi
memang bukan sebuah buku falsafah yang ditulis secara sistematis dan
runut. Ia berbeda misalnya dengan Kasyf al-Mahjub Ali Utsman al-Hujwiri,
Ihya` Ulumuddin Imam al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah Ibn `Arabi.
Dalam karya agungnya itu Rumi menyebarkan pemikiran, gagasan dan
perenungannya dalam untaian karangan bersajak yang indah, menggunakan
metafora (ishti`ara), tamsil dan kias. Kalau Imam al-Ghazali dan Ali
Utsman al-Hujwiri menggunakan bahasa diskursif dari falsafah dan ilmu,
Jalaluddin Rumi menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz). Kedua cara
memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa
dari masing-masing pembacanya.
Whinfield,
salah seorang penerjemah karangan Rumi dalam bahasa Inggris,
mengatakan bahwa Matsnawi merupakan pemaparan tasawuf eksperiensial atau
yang dialami secara langsung oleh pengarangnya. Ia bukan merupakan
uraian tentang apa dan bagaimana tasawuf. Melalui karyanya Rumi
mengungkapkan pengalaman dan gagasan keagamaannya secara puitik.
Sedangkan kodrat pengalaman yang disajikan Rumi dalam karyanya
benar-benar bersifat keagamaan, yaitu suatu pengalaman yang tidak
semata-mata dipompa oleh pemikiran falsafi dan pengetahuan formal
tentang agama, melainkan suatu pengalaman yang memiliki daya dan corak
hidupnya sendiri disebabkan oleh dorongan ’cinta’ yang membara dalam
diri orang yang mengalaminya.
Pemikiran
Mawlana Jalaludin Rumi bila kita lihat secara mendalam ternyata memang
tidak memiliki konsep metode pemikiran. Malahan sebagian orang
menganggap bahwa pemikiran Jalaludin Rumi tidak lain sebagai salah satu
pemikiran “kegelapan“ dalam arti masih terpengaruhi oleh doktirn-doktrin
agama dan agak bersifat mistis. Namun demikian kita dapat mengambil
suatu pelajaran dari pemikiran Jalaludin Rumi bahwa Ia menekankan untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan kita tidak boleh mendewakan rasionalisme
dan empirisme sebagai jalan dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini
Rumi berusaha menawarkan sebuah alternatif didalam jalan mendapatkan
pengetahuan yaitu dengan iluminasi. Dengan jalan iluminasi, menurutnya
manusia dapat mendapatkan pengetahuan yang abadi karena datangnya
pengetahuan tersebut berasal dari Tuhan dan pengetahuan manusia hanya
berfungsi sebagai jembatan dalam upaya memperoleh pengetahuan yang
berasal dari Tuhan.
Disi lain, sebagian
penulis anti-Islam kerap mengklaim bahwa Rumi bukanlah seorang Muslim.
Para penulis itu kerap mengutip puisi Rumi yang diterjemahkan oleh RA
Nicholson dari Divani Shamsi Tabriz. Inilah puisi yang digunakan para
anti-Islam untuk memalsukan akidah seorang Rumi: Bukan Kristen atau
Yahudi atau Muslim. Bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau
sistem budaya apa pun. Aku bukan dari Timur atau Barat. Bukan keluar
dari samudra atau timbul dari darat. Bukan alami atau akhirat. Bukan
dari unsur- unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia
ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal usul mana
pun. Tempatku adalah ‘Tanpa Tempat’, jejak dari yang ‘Tanpa Jejak’.
Bukan raga ataupun jiwa. (Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009)
Dalam
puisinya itu, Rumi seolah-olah tak mengaku seorang Muslim. Betulkan
tudingan itu? Dr Ibrahim Gamard seorang psikolog yang juga seorang yang
telah mempelajari sufisme selama 30 tahun membantah tudingan itu.
Menurut dia, puisi yang diterjemahkan Nicholson itu tak berasal dari
puisi Rumi yang asli. Dalam sebuah puisinya yang asli, Rumi secara
terang-terangan mengaku sebagai pelayan Alquran sepanjang hayatnya. Dia
juga menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad SAW. Atas dasar itulah,
kata Gamard, Rumi adalah seorang Muslim yang taat. Penyair sufi yang
terkenal itu tutup usia pada 17 September 1273. Dunia berduka ketika
Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam
universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan.
(Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009).